Home / Ekonomi-Bisnis / Nasional

Jumat, 19 April 2024 - 12:15 WIB

Rupiah Rontok, Krisis Moneter Mengancam?

Jakarta (BERANDATIMUR) – Nilai tukar rupiah rontok oleh dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang April 2024 pada level Rp16.000/US$ sehingga keterpurukan ini cukup mengkhawatirkan karena posisi rupiah terlemah pada empat tahun terakhir.

Pelemahan tajam ini mengingatkan krisis moneter pada yang terjadi pada 1997/1998.  Dilansir dari Refinitiv, rupiah terpantau ditutup di angka Rp16.215/US$ pada 17 April 2024. Sedangkan secara intra-day, rupiah sempat mencatatkan pelemahan hingga ke level Rp16.265/US$ di hari tersebut.

Sebagaimana dilansir dari CNBC Indonesia pada Jumat, 19 April 2024, mata uang Garuda mengalami anjlok hingga beberapa kali, termasuk pada periode-periode krisis seperti pandemi Covid-19 dan Krisis 1998.

Mata uang rupiah memiliki sejarah kelam pada 1997/1998m berawal dari krisis mata uang sejumlah negara di Asia seperti Thailand.

Kebijakan tersebut membuat banyak perusahaan menjadi gagal bayar karena nilai mata uang yang melemah. Hingga krisis ini menjalar ke negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia dimana dengan cepat menggoyang perekonomian nasional yang fondasi ekonominya rapuh. Akibat sistem perbankan yang buruk serta besarnya utang dalam dollar AS.

Krisis menjatuhkan nilai tukar rupiah dari Rp4.650/US$ pada akhir 1997 menjadi Rp7.300/US$ pada akhir November 1998. Bahkan rupiah di pertengahan 1998, sempat anjlok hingga ke level Rp16.800/US$.

Dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan Maret 1999 yang ditulis oleh Lepi T. Tarmidi, dijelaskan bahwa konsekuensi dari krisis moneter ini yakni Bank Indonesia (BI) pada 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing khususnya dollar AS, dan membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim managed floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978.

Oleh karena karena itu, BI tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Tidak hanya terhadap dolar AS, tetapi rupiah juga terpantau ambles terhadap mata uang pound sterling Inggris, dolar Australia, ringgit Malaysia, gulden Belanda, dan dolar Hong Kong. Harga emas dunia juga mengalami lonjakan yang signifikan dari Rp40.000 per gram pada akhir 1997 menjadi Rp73.125 per gram pada November 1998.

Jangan Lewatkan  Elektabilitas Anies Baswedan Terus Menurun, Nasdem Malah Menyalahkan PKS dan Demokrat

Krisis ini juga membuat inflasi Indonesia melonjak hingga 77,63% di akhir 1998 sementara ekonomi terkontraksi lebih dari 13,7%. Selain itu, krisis ini juga diwarnai dengan rush atau pengambilan uang besar-besaran dari bank.

Berdasarkan Laporan Tim Kajian Pola Krisis Ekonomi Kementerian Keuangan, sebelum 1997, perekonomian Indonesia sedang tumbuh tinggi sekitar 7% dengan dimotori oleh investasi. Kondisi tersebut membuat pihak swasta menambah utang untuk menggerakkan proyek akibatnya utang swasta berjangka pendek maupun jangka panjang mencapai sekitar 157% terhadap PDB pada tahun 1998.

Selain itu, defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistem perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis finansial.

Bank Dunia mencatat terdapat beberapa faktor yang membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan. Pertama yakni akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan.

Faktor penyebab kedua yakni lemahnya sistim perbankan Indonesia. Ketiga yaitu masalah governance, termasuk kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat dan yang keempat yaitu ketidakpastian politik menghadapi Pemilu.

Dari keseluruhan faktor tersebut, salah satu faktor utama yang menjadi perhatian yakni utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya.

Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar antara US$63 hingga US$64 milyar, sementara utang pemerintah US$53,5 milyar. Kendala berikutnya yakni bahwa sebagian besar dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge.

Jangan Lewatkan  Paras Perbatasan Bertabur Kata, Lomba Puisi Memukau Penonton

Tauhid Ahmad selaku Ekonom Senior INDEF mengemukakan beberapa faktor lemahnya rupiah pada 1998, seperti struktur atau pondasi ekonomi cukup lemah, cadangan devisa (cadev) yangs sedikit, dan struktur utang kurang baik krisis moneter yang disebabkan oleh krisis kepercayaan sektor keuangan.

Ahmad menegaskan bahwa pelemahan rupiah pada 1998 utamanya terjadi akibat faktor internal dibandingkan faktor eksternal.

Lemahnya fundamental ekonomi Indonesia juga ditegaskan oleh Senior Ekonom Samuel Sekuritas, Fithra Faisal kepada CNBC Indonesia bahwa cadev yang dapat berfungsi untuk menstabilkan nilai tukar rupiah tergolong sangat kecil dibandingkan tahun ini.

“Dari sisi cadangan devisa, sekarang US$140 miliar, sementara dulu cum aUS$13-15 miliar.” ujar Faisal. Cadev Indonesia yang cukup tipis bahkan terjadi sejak akhir tahun 1990 hingga 1997.

BPS mencatat cadev hanya berada di angka US$8,67 miliar pada 1990 dan US$19,12 miliar pada 1996. Kemudian mengalami penurunan menjadi US$17,42 miliar atau turun sekitar US$2 miliar pada 1997.

Pelemahan Rupiah 2024

Secara umum, penurunan rupiah pada 1998 dapat dikatakan lebih kepada faktor domestik yang cukup rapuh, namun berbeda halnya dengan depresiasi yang terjadi pada April 2024 yang dikarenakan akibat faktor eksternal.

Pelemahan rupiah kali ini terjadi di tengah sikap bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) yang dinilai cukup bimbang perihal suku bunga. Alasan dibaliknya yaitu kuatnya ekonomi AS, baik dari sisi inflasi yang kembali memanas hingga data ketenagakerjaan yang masih solid.

Selain itu, ketegangan yang terjadi di Timur Tengah antara Iran dan Israel juga kembali memicu kekhawatiran pasar. Alhasil, investor cenderung memilih aset safe-haven seperti US$ dan emas sehingga aset yang cukup berisiko dan kurang menguntungkan bagi investor cenderung akan ditinggalkan. Hal ini dapat tercermin dari capital outflow yang terjadi belakangan ini dari pasar keuangan domestik.

Berdasarkan data transaksi 1 – 4 April 2024, investor asing di pasar keuangan domestik tercatat jual neto Rp8,07 triliun terdiri dari jual neto Rp1,41 triliun di pasar SBN, jual neto Rp5,88 triliun di pasar saham, dan jual neto Rp0,78 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Jangan Lewatkan  Bupati Nunukan Luncurkan 2 Peserta PKN II Angkatan XII/2023

Sedangkan selama tahun 2024, berdasarkan data setelmen sampai dengan 4 April 2024, investor asing jual neto Rp34,75 triliun di pasar SBN, beli neto Rp23,95 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp19,05 triliun di SRBI.

“Pelemahan rupiah 2024 didominasi karena kebijakan The Fed dan inflasi yang memanas hingga akhirnya mengakibatkan capital outflow.” tegas Ahmad. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta semua pihak agar tidak perlu khawatir dalam memandang pelemahan nilai tukar rupiah beberapa waktu terakhir.

“Terkait kurs kita monitor dulu karena kurs ini kan bukan sesuatu yang kita harus respons daily bases dan kita lihat Cadev di BI masih besar jadi tidak ada yang perlu kita khawatirkan,” kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers, Kamis 18 April 2024.

Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia Destry Damayanti mengatakan secara fundamental perekonomian domestik tidak ada masalah. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2024 berada dalam kisaran 4,7-5,5%. Inflasi tetap terjaga dalam kisaran sasaran 2,5±1%, dengan realisasi 0,52% (mtm) pada Maret 2024, sehingga secara tahunan menjadi 3,05% (yoy).

Neraca perdagangan masih berada dalam tren surplus meski mulai melandai. Posisi cadangan devisa Indonesia akhir Februari 2024 tetap tinggi sebesar US$ 144,0 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) 2024 diprakirakan surplus dengan transaksi berjalan dalam kisaran defisit rendah sebesar 0,1% sampai dengan 0,9% dari PDB. “Liquidity dolar ample. Kita punya cadev US$ 140 miliar, artinya oke ini cuma ini nervous,” terangnya.

Share :

Baca Juga

PSSI Tambah Hukuman Bek PSM Yuran Fernandes

Nasional

Komdis PSSI Menambah Hukuman Bek PSM Yuran Fernandes, Bagaimana Lawan Madura

Nasional

Mahkamah Agung Larang Pengadilan Kabulkan Pernikahan Beda Agama

Ekonomi-Bisnis

Harga Rumput Laut di Nunukan Mulai Naik

Nasional

Jenderal Bintang 3 Tersangka KPK, Punya Pesawat Pribadi
Kalah Bersaing, Minyak Goreng Produk Dalam Negeri Menghilang di Pasar Nunukan

Ekonomi-Bisnis

Kalah Bersaing, Produk Dalam Negeri Menghilang di Pasaran, Minyak Goreng Malaysia Kuasai Pasar di Nunukan

Nasional

Wisuda TK-SMA Memberatkan Orangtua/Wali, Kemendikbud Ristek: Tak Wajib Diikuti

Nasional

Selebgram Cantik Asal Makassar Ditangkap Terkait Kasus Narkoba Jaringan Internasional

Nasional

Seleksi Kompetensi PPPK Tenaga Teknis Dimulai 17 Maret 2023