Nunukan (BERANDATIMUR) – Langkah mediasi yang ditempuh PT Tunas Mandiri Lumbis (TML) dengan petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Mattirobulu dan Maju Taka II bergulir di Kantor Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Peternakan Kabupaten Nunukan pada Kamis, 13 Pebruari 2025.
Pada saat medfiasi itulah terungkap pelanggaran yang dilakukan PT TML yang dulu berstatus perusahaan asing asal Malaysia ini yang diutarakan oleh Asbudi Salam, eks penyuluh pertanian di wilayah sengketa kedua belah pihak ini.
Asbudi Salam yang sering dipanggil Budi ini menceritakan kronologis lahan yang saling diklaim PT TML dengan petani setempat. Ia mengutarakan, sebelum ada PT TML selaku perusahaan yang mendapatkan izin mengelola lahan tersebut, terlebih dahulu masyarakat setempat sudah mengolah lahan dan menanam kelapa sawit.
Kejadiannya diperkirakan pada 2005 silam. sedangkan PT TML mulai memasuki kawasan itu pada 2007. Namun pada saat itu, lanjut Budi, lahan yang kini disengketakan masih dikelola secara mandiri oleh masyarakat atau belum membentuk kelompok tani. Akhirnya, petani-petani penggerap disarankan untuk membentuk kelompok tani maka terbentuklah Kelompok Tani Mattirobulu dan Maju Taka II.
Petani yang tergabung dalam kedua kelompok tani inilah yang mengelola lahan mulai penumbangan hutan hingga menanam kelapa sawit jauh hari sebelum PT TML masuk di kawasan tersebut, ulang Budi. Ia mengungkapkan, munculnya permasalahan ini disebabkan oleh Pemkab Nunukan selaku pihak yang membuat peta kawasan milik PT TML yang memasukkan semua kawasan yang sudah dikelola oleh kelompok tani. “Jadi disitu akar permasalahannya sampai berlarut-larut begini. Sementara pembuat peta itu sudah meninggal dunia,” terang Budi.
Kemudian, alas hak kedua belah pihak juga tidak ada khususnya PT TML yang tidak memiliki izin usaha perkebunan (IUP) yang menjadi dasar untuk mendapatkan hak guna usaha (HGU). “Jadi sekarang itu PT TML tidak punya HGU untuk mengelola lahan disana,” tambah dia.
Menanggapi pertanyaan M Rusli alas Candra selaku perwakilan PT TML mengenai luas lahan milik petani di dalam peta itu, Budi menyatakan, tidak mengetahui secara pasti. Walaupun ada regulasi yang menyetakan, setiap orang hanya berhak mendapatkan dua hektar tetapi sebelum ada ketentuan itu, masyarakat mengolah lahan hutan sesuai kemampuannya.
“Bisa saja ada masyarakat yang mengaku punya lima hektar lahan yang diambil PT TML,” beber Budi. Ia mengaku, sengketa yang terjadi di internal PT TML dengan masyarakat disekitar lahannya di Kecamatan Seimenggaris hanya berkutat pada lahan dan kelapa sawitnya semata.
Perwakilan petani yang merasa lahannya diserobot PT TML difasilitasi oleh Hamseng dari Yayasan LBH Heersen Nunukan Juctice. Petani bernama Kasman mengaku punya lima hektar lahan yang kini dikuasai PT TML.
Anehnya, PT TML yang masuk di kawasan itu sekitar 2007 sebagai perusahaan penyerobot lahan dengan menggusur kelapa sawit yang sudah ditanam petani sejak 2005 kini mengklaim miliknya dengan alasan pihaknya yang menanam kelapa sawit. Berujung, PT TML melaporkan petani kepada aparat hukum dengan tuduhan pencurian buah kelapa sawit. (Redaksi)