Nunukan (BERANDATIMUR) – Pemberitaan terkait pengurusan kartu tanda penduduk (KTP) di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Nunukan, Kaltara yang berujung adanya dugaan pelecehan seksual terhadap warga yang dilakukan oknum ASN berinisial AH di ruangan kerjanya, kini viral di media sosial (medsos).
Viralnya kasus ini, mengundang banyak komentar yang pro kontra, maka Hamseng, Pendiri Yayasan Nunukan Heersen Juctice Kabupaten Nunukan menanggapinya. Melalui rilis yang disampaikan kepada media ini pada Sabtu, 12 Mei 2024 mengaku dugaan pelecehan yang dilakukan oknum ASN di Disdukcapil Kabupaten Nunukan menjadi perhatiannya sehubungan dengan adanya pro kontra dalam memahami status hukum atas kasus ini.
“Viralnya informasi terkait dugaan tindak pidana pelecehan seksual dalam proses pembuatan KTP di Nunukan saat ini cukup mencuri perhatian masyarakat Nunukan. Jika kita melihat komunikasi yang terjadi berupa komentar2 dalam pemberitaan di media sosial tersebut terdapat setidaknya 2 kelompok, yaitu baik pihak yang langsung menghakimi dgn kata2 maupun pihak yang masih meragukan kebenaran atas laporan Pelapor,” beber ,” ujar Hamseng selaku praktisi hukum dalam rilisnya yang disampaikan melalui aplikasi whatsapp.
Ia mengajak masyarakat agar menghormati proses hukum yang sedang dilakukan penyidik dari kepolisian dengan berpegang teguh pada prinsip “asas praduga tak bersalah” sampai ada putusan dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah).
“Pertama-tama penting bagi kita untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan tentunya kita tetap berpegang teguh pada asas praduga tak bersalah sampai pada diputuskan oleh pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap,” harap eks PNS di Pemkab Nunukan ini.
Menurut Hamseng, jika mengacu pada ketentuan yang berlaku maka terdapat lima alat bukti dalam hukum pidana yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sementara untuk dapat diproses dari penyelidikan menjadi penyidikan, diperlukan bukti permulaan minimal dua alat bukti.
Namun, lanjut mantan Penasehat Hukum Pemkab Nunukan ini, terbatasnya alat bukti tidak bisa menjadi alasan untuk tidak menindaklanjuti laporan pelapor. Justru disitulah penyelidik dituntut untuk teliti, cermat dan jeli dalam menemukan kebenaran yang sesungguhnya melalui temuan alat bukti yang cukup hingga sampai pada kesimpulan layak atau tidak layak kasus ini dilanjutkan ke tingkat penyidikan.
Hal menarik yang perlu diantisipasi, justru ketika laporan pelapor diakui oleh terlapor, dan berujung pada permohonan maaf oleh terlapor kepada pelapor dengan alasan tindakannya tidak disengaja atau hanya spontanitas. “Menariknya nanti, jika kemudian terlapor menyampaikan permohonan maaf kepada pelapor dan menjelaskan jika hal tersebut tidak sengaja dilakukan dan hanya berupa spontanitas dari terlapor,” terang Hamseng.
Hal ini tentu bisa menjadi perdebatan hukum yang cukup panjang, tegas pria pemilik yayasan bantuan hukum ini. Bahkan dia berpandangan jika ada 1.000 orang hukum maka ada kemungkinan 1.001 pendapat hukumnya dengan mengacu pada persoalan hukum sebelumnya (preseden) yang terkait yakni “voice note” Bupati Nunukan yang viral di medsos juga. Tetapi, yang diakhiri dengan permohonan maaf kepada Polres Nunukan selaku korban dengan alasan spontanitas sehingga tidak ada proses hukumnya.
Hanya saja, dia menegaskan, apabila atas alasan terlapor tindakannya dilakukan spontanitas kemudian proses hukum tetap berjalan, maka prinsip perlakuan dan kedudukan hukum yang sama bagi setiap orang di depan hukum (perbuatan Bupati Nunukan dan oknum AH selaku terlapor) itu serta merta runtuh dan sebatas angan-angan belaka
Sebaliknya apabila atas dasar alasan terlapor tersebut kemudian menjadi alasan pemaaf, maka seyogyanya kita sudah berada pada masa dimana hukum tidak lagi menjadi panglima dalam mengatur tata kehidupan masyarakat dalam bernegara, kata dia. (Redaksi)