Nunukan (BERANDATIMUR) – Hamseng, Praktisi dari Yayasan Heersen Nunukan Juctice menilai jajaran Pemkab Nunukan mulai Bupati, Camat dan Lurah selalu ngawur dan gagal membina lembaga kemasyarakatan di daerahnya karena senantiasa bertindak atas kepentingan “Dikita”.
Ia mengatakan, Rukun Tetangga (RT) sebagai lembaga kemasyarakatan merupakan mitra kerja pemerintah desa/kelurahan baik dalam pelayanan publik maupun berkaitan dengan memelihara kerukunan warga masyarakat. Contohnya, semrawut yang dialami Plt Ketua RT 26 Kelurahan Nunukan Barat dimana selalu dihalangi dalam menjalankan tugas dan haknya.
Diantaranya, ditolak ikut pemilihan serentak Ketua RT Kelurahan Nunukan Barat pada 2021, tidak mencairkan insetif Ketua RT pada tahun anggaran 2024 dan intimidasi warganya agar pindah alamat. Langkah-langkah yang dilakukan jajaran Pemkab Nunukan ini sangat tidak manusiawi atau bentuk penjajahan gaya baru, ungkap Hamseng melalui siaran persnya kepada media ini pada Minggu, 9 Juni 2024.
“Terkait tidak di ikutsertakannya RT 26 dalam pemilihan RT serentak tahun 2021 adalah bentuk nyata dihilangkannya secara sepihak pengakuan terhadap keberadaan RT 26, berikut wilayahnya dan masyarakatnya. Hal ini tentu bentuk penjajahan terhadap masyarakat karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ungkap eks PNS dan Penasehat Hukum Pemkab Nunukan ini.
“Intimidasi warga tidak diberikan bantuan apabila tidak pindah RT dari RT 26, dan upaya pemaksaan agar warga membongkar rumah yang bermukim dalam wilayah RT 26, yang semuanya adalah bentuk kejahatan jabatan yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan tertentu bukan atas dasar kepastian hukum dan perlindungan kepada masyarakat, yang akhirnya memberikan ketidakpastian hak atas pelayanan publik dan perlakuan yang sama dan adil dari Pemda Nunukan,” tambah Hamseng lagi.
Ia menyatakan, terkuaknya persoalan RT 26 tersebut justru mempertontonkan prilaku lempar batu sembunyi tangan oleh jajaran Pemkab Nunukan yang menimbulkan bukti nyata tidak profesional dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Dimana hanya saling menyalahkan baik lurah, camat, maupun Bupatinya.
Padahal, lanjut dia, semestinya apapun persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat, setiap jajaran pemda harus tampil di depan sesuai batas kewenangannya untuk menyelesaikan setiap persoalan di masyarakat. “Bukan justru saling menyalahkan dan lempar tanggungjawab,” kesalnya.
Prilaku atau tindakan Pemkab Nunukan terhadap RT 26 Kelurahan Nunukan Barat menunjukkan gagalnya Pemkab Nunukan dalam menjalankan peran pemberdayaan lembaga kemasyatakatan yaitu pembinaan dan pengawasan.
“Kurangnya pengetahuan aparatur terkait kewajiban pembiayaan yang bersumber dari APBD kepada lembaga kemasyarakatan berupa dukungan biaya operasional RT, yang dikemas dalam bentuk insentif, menjadi bukti rendahnya pemahaman aparatur atas ketetuan yang berlaku,” tandas Hamseng.
Terkait dengan alasan Lurah Nunukan Barat Julhansyah bahwa pencairan insentif Ketua RT di wilayahnya berdasarkan SK yang terbit 2022 dan ditandatangani Lurah sebelumnya Sudiasah. Praktisi ini menilai bagian dari ketidakprofesionalan Lurah Nunukan Barat dan Camat Nunukan.
Padahal. insentif Ketua RT 26 Kelurahan Nunukan Barat ini pada tahun-tahun sebelumnya tetap dicairkan yakni 2022 dan 2023. “Jika pencairan insentif atas dasar SK tahun 2021, lantas apa dasar pencairan insentif RT 26 pada tahun 2022 dan 2023,” beber Hamseng.
Tindakan provokatif dan intimidatif yang ditunjukkan jajaran Pemkab Nunukan dianggap sangat bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang telah membentuk RT 26 di Kelurahan Nunukan Barat ini. Sebab pembentukan RT merupakan prakarsa masyarakat sesuai kebutuhan. (Redaksi)