Hal ini dilakukan menyusul berlakunya kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI per 1 April 2025 yang mewajibkan kapal nelayan bermigrasi ke perizinan pusat untuk menggunakan VMS sebagai syarat penerbitan Surat Laik Operasi (SLO).

“Hal ini sudah kami tindaklanjuti sejak Jumat. Hari ini akan bersama Kementerian menindaklanjuti dengan rapat koordinasi secara virtual,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sulsel, Muhammad Ilyas.

Aturan tersebut berlaku pada kapal berkapasitas 32 gross tonnage (GT) ke atas dan 5-30 GT yang beroperasi di zona lebih dari 12 mil. “Itu persyaratan yang harus dipenuhi nelayan ketika sudah bermigrasi ke izin pusat. Tujuannya Pemerintah Pusat itu adalah bagaimana ikan yang ditangkap nelayan itu tetap terkontrol. Bisa dijual di tempat yang tepat, bisa terukur berapa jumlahnya,” sebut dia pada Senin, 14 April 2025.

Sebelumnya, nelayan yang tergabung dalam Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sulsel pada Kamis 10 April 2025 telah beraudiensi dengan Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman dan diterima oleh Kepala DKP Sulsel.

Ilyas memaparkan, tanpa SLO dan Surat Perintah Berlayar (SPB), sebanyak 382 kapal perikanan di Sulsel terancam tidak bisa melaut. Akibatnya, berpotensi mengganggu stabilitas produksi pangan akuatik, memicu inflasi, dan mengancam mata pencaharian nelayan.

Sementara batas akhir relaksasi adalah 31 Maret 2025 sehingga otomatis tidak bisa lagi diterbitkan surat laik beroperasi dan izin berlayar SPB. Sebagai solusi jangka panjang, Pemprov Sulsel akan mengalokasikan anggaran subsidi pengadaan VMS pada APBD Perubahan 2025 untuk kapal di bawah 30 GT.

“Solusi kita bantu kapal ukuran kecil yang sudah bermigrasi yang berukuran di bawah 30 gross tonnage, kita bantu untuk pengadaan alat agar mereka tidak berhenti mencari ikan, karena ini akan berdampak ke ekonomi,” paparnya.

Upaya ini disambut positif oleh Ketua DPD HNSI Sulsel, Chairil Anwar. “Kalau tidak ada itu (alat VMS) artinya kan ilegal, teman-teman tidak bisa melaut dan aparat bisa memberikan sanksi,” kata Chairil.

Pemprov sudah mengambil langkap positif untuk meminta perpanjangan waktu relaksasi. “Saya sudah dapat (melihat) suratnya. Upaya tindak-lanjut dari Pemprov adalah hal yang cukup positif untuk bisa membantu,” ungkap Anwar.

VMS adalah teknologi berbasis satelit untuk memantau aktivitas kapal secara real-time. Kebijakan ini bagian dari transisi penangkapan ikan terukur untuk mencegah praktik ilegal dan eksploitasi berlebihan. Namun, implementasinya dinilai masih perlu mempertimbangkan kesiapan nelayan, terutama segi biaya dan infrastruktur. (*)