Takalar (BERANDATIMUR) – PT Perkebunan Nusantara (PTPN) adalah sebuah perusahaan negara yang kini, masih berusaha “merampas” lahan milik warga pada 11 desa di Kecamatan Polongbangkeng dan Polongbangkeng Utara Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
Lahan seluas 4.500 hektar yang menjadi milik warga ini, sebelumnya dikuasai PTPN I Region 8 untuk dikelola guna menanam tebu dan mendirikan pabrik gula sejak 2007 dengan status hak guna usaha (HGU). Meskipun HGU telah berakhir sejak 2004, PTPN selaku perusahaan negara terus menggarap lahan tersebut sehingga menimbulkan reaksi keras dari masyarakat setempat.
Keinginan warga setempat untuk menguasai kembali lahan yang pernah dikelola perusahaan negara ini, menimbulkan konflik yang sudah berlangsung lama. Namun, konflik ini telah menelan korban terus menerus karena PTPN mengerahkan aparat kepolisian dengan dipersenjatai untuk mengancam warga.
Tindak kekerasan aparat kepolisian kepada warga yang menuntut haknya atas tanah tersebut, kembali terjadi sejak Sabtu pagi, 23 Agustus 2025 sekitar pukul 07.00 Wita. Sampai sekarang lahan yang dipersengketakan masih dijaga ketat anggota polisi sebagian dilengkapi senjata.
Situasi di Polombangkeng ini, dipicu oleh aktivitas yang terus berlangsung yang dilakukan PTPN dengan menebang tebu di atas lahan yang diklaim warga Polongbangkeng itu sebagai miliknya. Pantauan di lokasi kejadian pada Sabtu itu, ketegangan pun pecah. Warga yang terus memperjuangkan haknya menolak aktivitas PTPN.
Penolakan itu berujung represif yang menyebabkan warga mengalami luka-luka akibat dari tindak kekerasan aparat kepolisian dari Brimob dan Polres Takalar yang menendang, dan menginjak-injak warga.
Tercatat, enam warga yang terluka masing-masing tiga laki-laki dan tiga perempuan. Padahal tuntutan warga setempat sangat sederhana yakni agar PTPN berhenti mengolah lahan setelah menebang tebu. Namun, sangat disesalkan PTPN tetap bersikukuh dan keras kepala tanpa mempedulikan tuntutan warga dengan mengerahkan aparat kepolisian untuk mengintimidasi dan bukan langkah dialog tapi kekerasan.
Sangat disayangkan, PTPN dan Polres Takalar menolak bertanggungjawab atas tindak kekerasan dan ancaman terhadap warga yang dilakukan aparat kepolisian setempat. “HGU sudah berakhir, tapi rakyat masih dipaksa menyerahkan tanahnya. Ketika aparat bersenjata berdiri membela korporasi, di mana tempat rakyat mencari keadilan?,” ucap Daeng Nassa, salah seorang warga Polongbangkeng yang sangat prihatin terhadap kondisi negara RI sekarang ini.
“Setiap warga menuntut haknya, selalu dihadapkan dengan aparat bersenjata dan melakukan kekerasan terhadap warga,” tambah pria berkumis ini yang seolah-olah tidak percaya lagi dengan aturan negara dan aparat kepolisian.
Awal mula, PTPN menguasai lahan milik warga seluas 4.500 hektar dari 6.650 hektar HGU yang dimiliki pada 1982. Lahan yang dikelola PTPN ini adalah bekas perkebunan Belanda. Pasca HGU PTPN berakhir pada 2004, tetapi lahan itu tidak dikembalikan kepada warga selaku pemilik tanah sejak awal dan bahkan dikelola terus tanpa menggunakan HGU.
Konflik pertama kali terjadi pada 2007, karena PTPN menolak mengembalikan lahan dan tidak memperpanjang kontrak dengan nilai yang rendah. Maka sejak 2013 hingga sekarang, warga terus melakukan unjuk rasa dan upaya untuk merebut kembali tanah miliknya dari tangan PTPN.
Bahkan hingga sekarang, PTPN terus aktif melakukan aktivitas penggarapan lahan, termasuk memanen tebu, dengan dukungan aparat keamanan dari Brimob dan Polres Takalar.
Sebanyak 723 kepala keluarga (KK) petani yang menuntut pengembalian 4.500 hektar lahan miliknya yang dikuasai PTPN XIV sejak 1982 pada sembilan desa di Kecamatan Polongbangkeng. Tiga desa di Kecamatan Polongbangkeng Utara sehingga luas lahan HGU yang dikelola perusahaan negara ini seluas 6.650 hektar.
Hingga berita ini ditayangkan, media ini telah berusaha mengonfirmasi Polres Takalar dan PTPN tapi belum ada yang bersedia untuk mengklarifikasi. Seolah-olah kedua lembaga ini ingin lepas tangan atas tindak kekerasan terhadap warga. (*)