Nunukan (BERANDATIMUR) – Rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar DPRD Nunukan pada Senin, 3 Januari 2025 menemukan titik terang penyebab kesemrawutan perizinan pelayaran selama ini yang telah banyak menelan korban jiwa.
Pada RDP yang menghadirkan instansi yang terkait dengan insiden kecelakaan laut speedboat Cinta Putri pada 29 Januari 2025 yakni Dinas Perhubungan Kabupaten, Syahbandar dan Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Kementerian Perhubungan RI, Basarnas dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Nunukan serta pengelola speedboat dan asosiasinya.
RDP ini digelar berawal dari adanya delapan korban meninggal dunia akibat kecelakaan laut yang menimpa speedboat Cinta Putri yang patah dihantam ombak saat melakukan pelayaran dari Pulau Nunukan ke Sei Ular Kecamatan Seimenggaris pada 29 Januari 2025 sekitar pukul 11.00 Wita.
Berawal dari insiden kecelakaan laut tersebut, penyebab semua permasalahan yang menjadi inti daripada kurangnya sarana transportasi laut yang tidak memiliki izin di daerah ini mulai terungkap bahwa sulitnya mendapatkan perizinan karena instansi terkait saling lempar tanggungjawab.
Akhirnya, anggota DPRD Nunukan menemukan kesimpulan bahwa BPDT Kementerian Perhubungan RI sebagai pangkal dari permasalahan ini yang “tidak mau” bertanggungjawab atas keselamatan di laut karena sulitnya menerbitkan perizinan transportasi laut khususnya angkutan penyeberangan speedboat 7 PK ke bawah.
Anggota DPRD Nunukan, Muhammad Mansyur yang mempertanyakan instansi mana yang bertanggungjawab atas keselamatan penumpang di sungai dan di laut. Dia menanyakan kepada instansi terkait yakni Dinas Perhubungan Nunukan, Syahbandar dan BPTD Kemhub RI.
Lalu, Ahmad Triadi dilanjutkan dengan Andre Pratama yang mempertanyakan kewenangan perizinan pelayaran speedboat 7 PK ke bawah. Ternyata, Dinas Perhubungan maupun Syahbandar mengelak dipersalahkan dalam hal ini karena dibatasi oleh aturan yang diberlakukan pemerintah saat ini yakni Undang-Undang Pelayaran.
Anggota DPRD Nunukan ini menyinggung soal instansi yang berwewenang menerbitkan izin usaha jasa angkutan laut (IUJAL), izin operasi, surat izin berlayar, sertifikat keselamatan, sertifikat kelaiklautan dan surat izin kecakapan pelayaran.
Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Nunukan, Muh Amin pada RDP itu mengungkapkan, semua dokumen perizinan telah ditangani oleh Kementerian Perhubungan (Kemhub) dan bukan ditebritkan lagi pemerintah daerah sejak 2019. “Memang sebelum tahun 2019, kewenangan pemberian surat-surat perizinan untuk pelayaran masih diterbitkan oleh pemda tetapi setelah itu tidak ada lagi dan semuanya diambilalih oleh BPTD Kemhub RI,” ucap dia.
Menyikapi pemangkasan kewenangan ini agar tidak menimbulkan permasalahan ketika terjadi kecelakaan laut, Muh Amin mengaku pernah menanyakan langsung di Kemhub RI di Jakarta namun tetap tidak diberikan kelonggaran untuk menangani kembali penerbitan perizinan alat transportasi khusus untuk speedboat GT7 ke bawah.
Alasannya, keberadaan UU Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008 dan pembaharuan ketiga menjadi UU Nomor 66 Tahun 2024, semua perizinan ditangani Kemhub RI dalam hal ini BPTD Perwakilan Kaltara. Oleh karena itu, masalah keselamatan di laut menjadi tanggungjawab Kemhub RI dan bukan lagi kewenangan pemda.
Kepala Kantor Syahbandar dan Otorita Pelabuhan (KSOP) Kabupaten Nunukan, M Kosasih pun mengaku tidak memiliki kewenangan untuk penerbitan perizinan pelayaran tersebut walaupun instansinya bagian dari Kemhub RI. Sebab, kementeriannya telah mengalihkan seluruh penerbitan perizinan kepada BPTD Perwakilan Kaltara.
Salah seorang pengelola speedboat Kabupaten Nunukan mengutarakan, speedboat Cinta Putri yang mengalami kecelakaan di perairan Kinabasan hingga menelan delapan korban jiwa belum memiliki izin pelayaran karena sulitnya mendapatkan dari BPTD Kemhub RI. Walaupun, pengajuan dokumen perizinan yang dibutuhkan telah dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya. (Redaksi)